Hukum Nikah Menurut Undang-undangan Indonesia
Hukum Perdata: Pengertian, dasar-dasar, syarat-syarat,
dan larangan dalam perkawinan
1.
Pengertian dan dasar-dasar Perkawinan
a. Pengertian
a. Pengertian
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 2
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Prof.
Subekti, SH
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Prof. Mr.
Paul Scholten
Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.
Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.
Prof. Dr. R.
Wirjono Prodjodikoro, SH
Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.
Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.
b.
Dasar-dasar perkawinan
Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sahnya suatu perkawinan adalah merujuk pada
dasar hukum sebagai berikut:
Pasal 2
(1).Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2).Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2).Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1).Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2).Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
(1).Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2).Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1).Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2).Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
(1).Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2).Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1).Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2).Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
(1).Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2).Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Islam, Dasar-dasar perkawinan tertulis dalam Bab II,
yaitu:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah
.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah
.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1). Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
(1). Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1). Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
(1). Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Pasal 7
(1). Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3). Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(1). Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3). Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4). Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan
itu.
Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.
Pasal 9
(1). Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2). Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
(1). Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2). Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2. Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
Syarat
perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sampai dengan
11 UU No. 1 tahun 1974, yaitu:
1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No.1 Tahun
1974 direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya
kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu
akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon
mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur,
agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
– Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.hari
– tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).
2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
– Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.hari
– tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).
Sedangkan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), syarat-syaratnya adalah sebagai
berikut:
1. kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun.
2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak
3. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari dahulusetelah putusnya perkawinan pertama
4. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak
5. Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua atauwalinya.
6. Asas Monogami yang mutlak (Pasal 27 KUH Perdata)
1. kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun.
2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak
3. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari dahulusetelah putusnya perkawinan pertama
4. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak
5. Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua atauwalinya.
6. Asas Monogami yang mutlak (Pasal 27 KUH Perdata)
Pencatatan
perkawinan diperlukan sebagai bukti adanya perkawinan. Buktiadanya perkawinan
ini diperlukan kelak untuk melengkapi syarat-syarat administrasiyang diperlukan
untuk membuat akta kelahiran, kartu keluarga dan lain-lain.
Dalam KUHPerdata,
pencatatan perkawinan ini diatur dalam bagian ke tujuh Pasal 100 danPasal 101.
Dalam Pasal 100, bukti adanya perkawinan adalah melalui akta perkawinan yang
telah dibukukan dalam catatan sipil. Pengecualian terhadap pasal ini yaitu
Pasal 101, apabila tidak terdaftar dalam buku di catatan sipil, atau hilang
maka bukti tentang adanya suatu perkawinan dapat diperoleh dengan meminta pada
pengadilan. Di pengadilan akan diperoleh suatu keterangan apakah ada atau
tidaknya suatu perkawinan berdasarkan pertimbangan hakim.
Lalu menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) syarat perkawinan terdiri dari:
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Menurut
Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan
sah adalah:
a.Syarat
Umum
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.
Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.
b.Syarat
Khusus
1. Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.Calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan.
1. Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan.Calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan.
3. Harus ada
wali nikah. Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul SAW yang
diriwayatkanBukhari da n Muslim dari Siti Aisyah, Rasul SAW pernah mengatakan
tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali berpandangan walaupun nikah itu
tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.
4.
Larangan-larangan dalam Perkawinan
Larangan
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Larangan
perkawinan berdasarkan kekeluargaan (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974) disebabkan
berhubungan darah yaitu larangan perkawinan karena hubungan ke-saudara-an yang
terus menerus berlaku dan tidak dapat disingkirkan berlakunya :
a. Hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas
yang terdiri dari ibu sendiri, anak perempuan, ibu dari ayah, cicit (Pasal 8 sub a).
b. Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping terdiri dari saudara perempuan ayah, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan (kemanakan) (Pasal 8 sub b).
c. Hubungan semenda terdiri dari saudara perempuan bibi (makcik), ibu dari isteri (mertua), anak tiri (Pasal 8 sub c).
d. Hubungan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan dan bibi atau paman susuan (Pasal 8 sub d).
e. Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang (Pasal 8 sub e).
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin (Pasal 8 sub f).
yang terdiri dari ibu sendiri, anak perempuan, ibu dari ayah, cicit (Pasal 8 sub a).
b. Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping terdiri dari saudara perempuan ayah, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan (kemanakan) (Pasal 8 sub b).
c. Hubungan semenda terdiri dari saudara perempuan bibi (makcik), ibu dari isteri (mertua), anak tiri (Pasal 8 sub c).
d. Hubungan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan dan bibi atau paman susuan (Pasal 8 sub d).
e. Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang (Pasal 8 sub e).
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin (Pasal 8 sub f).
2. Larangan
oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih terikat dengan tali
perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).
Larangannya
bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak kepada pihak perempuan
saja yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan. Larangan
Pasal 9 tidak mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang sedang terikat
dengan perkawinan atau seoramg laki-laki yang beristeri tidak mutlak dilarang
untuk melakukan perkawinan dengan isteri kedua.
3. Larangan
kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali (Pasal 10 UU No.
1 Tahun 1974).
Menurut
Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2
(dua) kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan. Pasal 10 bermaksud untuk mencegah
tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri saling
menghargai satu sama lain.
5. Larangan
kawin bagi seorang wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974).
Larangan
dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan sendirinya apabila
masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan masa lamanya waktu
tunggu. Sesuai dengan pasal 8 masa lamanya waktu tunggu selama 300 hari, kecuali
jika tidak hamil maka masa tunggu menjadi 100 hari. Masa tunggu terjadi karena
perkawinan perempuan telah putus karena:
1) Suaminya meninggal dunia.
2) Perkawinan putus karena perceraian.
3) Isteri kehilangan suaminya.
1) Suaminya meninggal dunia.
2) Perkawinan putus karena perceraian.
3) Isteri kehilangan suaminya.
Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Didalam
Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam Pasal 39. Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
1. Karena pertalian nasab
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2. Karena
pertalian kerabat semenda:
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3. Karena
pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Juga di
dalam Pasal 40 disebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
berisi:
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
tertera larangan sebagai berikut, Seorang pria dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
(empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau
masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih
terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
juga menyebutkan bahwa:
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali.
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali.
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Larangan
Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Terdapat
pada Pasal 30, 31, 32, 33 KUH Perdata, yaitu:
Pasal 30
Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah.
Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah.
Pasal 31
Juga dilarang perkawinan:
1. antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;
2. antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.
Juga dilarang perkawinan:
1. antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;
2. antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.
Pasal 32
Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zina, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu.
Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zina, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu.
Pasal 33
Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 199 nomor 3e atau 4e, tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 199 nomor 3e atau 4e, tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
Daftar
Referensi:
1. http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU1-1974Perkawinan.pdf
2. http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf
3. http://pkbh.uad.ac.id/?p=894
4. http://www.scribd.com/doc/38619446/Per-Banding-An-an-Menurut-KUHPerdata-Dan-UUP
5. http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/files/2013/04/perbandingan-perkawinan-BW-dg-UUP.pdf
6. Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
7. Salim HS. 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Sinar Grafika
8. Subekti dan Tjitrosudibio. 2013. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan UU No. 1 Tahun 1974. Jakarta: Pradnya Paramita
2. http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf
3. http://pkbh.uad.ac.id/?p=894
4. http://www.scribd.com/doc/38619446/Per-Banding-An-an-Menurut-KUHPerdata-Dan-UUP
5. http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/files/2013/04/perbandingan-perkawinan-BW-dg-UUP.pdf
6. Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
7. Salim HS. 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Sinar Grafika
8. Subekti dan Tjitrosudibio. 2013. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan UU No. 1 Tahun 1974. Jakarta: Pradnya Paramita