Dibuli Teman, Ternyata Bisa Lebih Berbahaya dari Kekerasan Pada Anak



Orang-orang yang di-bully di masa kecil dilaporkan cenderung lebih memiliki masalah mental pada masa dewasanya dibandingkan dengan orang-orang yang pernah dianiaya oleh orang dewasa, termasuk oleh orangtua mereka.

Tetapi tajuk ini menyesatkan karena angka tersebut hanya mencerminkan hasil penelitian di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan hasil studi di Inggris, yang mencakup lebih dari tiga kali jumlah anak, hasilnya hampir tidak sesignifikan ini.

Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan pada rancangan penelitian ini. Variabel penelitian hanya bergantung pada laporan dari pengalaman pribadi anak dan orangtua, yang mungkin membuat hasil kurang dapat diandalkan. Orangtua mungkin telah menyepelekan perlakuan buruk mereka terhadap anak-anaknya.

Tetap saja, kesimpulan peneliti bahwa sekolah, institusi kesehatan, dan lembaga lainnya harus bekerja sama dalam menanggulangi bullying, adalah saran yang harus dipertimbangkan.

Jika Anda mencurigai anak Anda menjadi korban bullying di sekolahnya, penting untuk Anda berdua berkonsultasi dengan pihak sekolah. Anda dapat mempertanyakan kebijakan anti-bullying mereka, yang seharusnya dimiliki setiap sekolah. Kebijakan anti-bullying akan membantu Anda untuk meninjau bagaimana sekolah berencana untuk mencegah dan mengatasi bullying.

Dari mana penelitian ini berasal?

Studi ini dilakukan oleh sejumlah peneliti dari University of Warwick dan bekerja sama dengan Duke Medical Centre, di Inggris.

Penelitian ini diliput secara luas oleh media. Namun, hasil yang mengatakan bahwa anak korban bullying berisiko lima kali lipat menderita masalah kegugupan (anxiety disorder) dibanding dengan anak korban aniaya orang dewasa dinilai menyesatkan.

Hasil ini juga digunakan di berbagai artikel berita dan rilis media, tetapi angka ini hanya menunjukkan populasi di Amerika Serikat. Hasil penelitian dari Inggris, yang melibatkan lebih dari tiga kali jumlah anak, hampir tidak sesignifikan ini.

Penelitian apakah ini?

Ini adalah studi kelompok yang mengamati efek jangka panjang dari segi kesehatan mental akibat bullying pada masa sekolah dan dibandingkan dengan efek kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orang dewasa.

Peneliti melaporkan bahwa kasus penganiayaan anak, seperti penelantaran, kekerasan fisik dan seksual, adalah masalah yang menjadi perhatian masyarakat luas. Ini telah terbukti meningkatkan risiko gangguan mental, penyalahgunaan obat-obatan, dan usaha bunuh diri.

Bullying, baik secara verbal maupun fisik, yang dilakukan oleh teman sebaya lain juga merupakan masalah global. Dilaporkan 1:3 anak di 38 negara adalah korban bullying. Hal ini juga dapat memiliki efek buruk yang sama di masa dewasa.

Peneliti bertujuan untuk mencari tahu apakah gangguan mental adalah hasil dari kombinasi bullying dan kekerasan pada anak, atau apakah bullying memiliki efek lain terhadap anak.

Pada siapa penelitian ini dilakukan?

Studi ini didasarkan pada dua kelompok subyek penelitian besar secara berkelanjutan. Satu kelompok melibatkan 4,026 anak di Inggris dan kelompok yang lain melibatkan 1,420 anak di Amerika Serikat.

Penelitian di Inggris bertujuan untuk melihat kesehatan dan perkembangan anak selama masa kanak-kanak dan seterusnya. Partisipan adalah sejumlah ibu hamil yang akan memiliki anak dalam rentang waktu kelahiran terhitung dari April 1991 sampai Desember 1992.

Pada trimester pertama, sejumlah orangtua hanya akan diberikan kuesioner untuk diisi mengenai diri mereka masing-masing dan tahap tumbuh kembang anak.

Ibu memberikan informasi seputar penganiayaan yang terjadi antara usia 8 minggu hingga 8.6 tahun, beserta laporan dari anak-anak mereka mengenai bullying yang mereka alami di usia 8, 10, dan 13. Kata kunci “penganiayaan” dibuat berdasarkan kekerasan fisik, emosional, dan seksual.

Anak-anak ini kemudian diminta untuk menghadiri klinik pemeriksaan tahunan, yang meliputi wawancara tatap muka dan sejumlah tes fisik, mulai dari usia 7 tahun dan seterusnya.

Penelitian di AS didasari oleh sampel yang didapat dari tiga kelompok anak berusia 9, 11, dan 13 tahun yang direkrut pada tahun 1993. Orangtua dan anak-anak ini secara terus menerus diwawancarai dan ditanyai seputar penganiayaan dan bullying yang dialami si anak.

Perlakuan kejam meliputi kekerasan fisik, seksual, atau tindakan disipliner sadis dari orangtua. Anak-anak ini diperiksa untuk masalah perilaku dan gangguan mental hingga mencapai masa dewasa muda.

Peneliti mengontrol hasil berdasarkan faktor-faktor yang diperkirakan akan meningkatkan risiko anak terhadap penganiayaan dan bullying, termasuk jenis kelamin anak, kesulitan keluarga, dan kesehatan mental ibu. Pada studi kelompok Inggris, partisipan diobservasi untuk kemungkinan adanya faktor-faktor tersebut selama masa kehamilan sang Ibu. Sedangkan pada studi di AS, partisipan (anak dan orangtua) diobservasi melalui wawancara tahunan.

Lalu, apa hasilnya?

Pada studi kelompok AS, anak-anak korban bully berisiko lima kali lipat menderita anxiety disorder daripada anak-anak korban aniaya.

Studi kelompok Inggris menyatakan, anak-anak korban bully lebih rentan menderita depresi dan usaha menyakiti diri sendiri dibandingkan kelompok anak yang mengalami kekerasan rumah tangga.

Studi AS menunjukkan bahwa kelompok anak korban kekerasan orang dewasa tetapi tidak menjadi korban bully empat kali lipat lebih rentan terhadap depresi pada masa dewasa jika dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak teraniaya atau di-bully.

Pada studi kelompok Inggris, anak-anak korban kekerasan orang dewasa tetapi bukan korban bully tidak menunjukkan adanya peningkatan risiko terhadap gangguan mental daripada anak-anak yang tidak teraniaya atau di-bully.

Hasil dari kedua kelompok studi membuktikan, anak-anak yang masa kecilnya menjadi korban kekerasan orangtua dan juga menjadi target bullying di sekolahnya menunjukkan peningkatan risiko menderita gangguan mental, anxiety disorder, dan depresi jika dibandingkan dengan mereka yang tidak di-bully atau dianiaya. Pada anak-anak Inggris, khususnya, terdapat risiko menyakiti diri sendiri.

Lebih lanjut, kedua kelompok studi ini membuktikan bahwa anak-anak korban bullying tetapi tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga lebih rentan memiliki gangguan mental daripada anak-anak korban aniaya tetapi bukan target bullying.

Apa maksud dari hasil penelitian ini?

Para peneliti mengatakan, korban bullying dari teman sebaya umumnya memiliki efek jangka panjang yang lebih buruk pada kesehatan mental mereka pada saat dewasa dibandingkan dengan anak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Penemuan ini memiliki peran penting untuk rancangan kesehatan masyarakat dan pengembangan layanan untuk menangani bullying, menurut para peneliti.

Dua kumpulan hasil yang ditemukan pada dua kelompok berbeda membuat hasil penelitian ini cukup membingungkan. Contohnya, rilis media yang dimuat menyoroti 4.9% peningkatan efek anxiety disorder hanya pada anak korban bully, dibandingkan dengan anak-anak korban KDRT. Tapi, angka ini hanya didapat dari studi kelompok AS.

Studi ini hanya mengandalkan laporan pribadi anak dan orangtua seputar kasus penganiayaan dan bullying, yang dapat diragukan akurasinya. Orang dewasa khususnya cenderung enggan untuk melaporkan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh mereka sendiri atau oleh pasangan mereka, walaupun peneliti mencoba untuk merancang penelitian dengan cara yang sedemikian rupa untuk mencegah hal ini terjadi. Selain itu, peneliti juga dapat menunjukkan bahwa studi ini tidak membuat perbedaan antara penganiayaan oleh orang dewasa dan didikan orangtua yang keras.

Pada studi UK, tidak semua anak menyelesaikan pemeriksaan mental pada usia 18 tahun. Mereka yang memiliki masalah internal keluarga umumnya dikeluarkan dari sekolah, yang membuat hasil penelitian kurang dapat diandalkan. Mungkin juga terdapat beberapa bias pemilihan terhadap subyek partisipan yang setuju untuk berpartisipasi dalam studi.

Peneliti juga tidak berhasil untuk memasukkan faktor cyber bullying ke dalam variabel penelitian, walaupun mereka mengatakan bahwa sejumlah studi sebelum ini telah menunjukkan bentuk yang tumpang tindih antara bullying “tradisional” dengan cyber bullying.

Di kedua studi, sekitar 40% anak yang pernah menjadi korban aniaya orang dewasa juga merupakan korban bullying. Ditunjukkan oleh peneliti, sangat mungkin bagi anak-anak yang mengalami penganiayaan menjadi lebih rentan terhadap aksi bullying, atau kedua tipe penganiayaan ini memiliki faktor risiko yang mirip antar satu sama lain.

Baca juga: Cara Mengajarkan Anak Menghadapi Bullying

Entri Populer

Simpan Gambar Ini...! Akan Bermanfaat Untuk Mengajari Anak Menggambar

Percayalah Suami Walaupun Tak Seperti Song Jong Ki, Tapi Kamu Selalu Di Hati